Untuk Dilihat Sebagai ‘Sesuatu’

Berada di atas bukan berarti bisa selalu memandang rendah. Berada di atas bukan berarti tidak terlihat rendah. Semuanya tergantung dengan persona yang ditampilkan.

Aku tidak mengingat kapan tepatnya. Aku hanya yakin bahwa masa itu hanya sekitar dua-tiga bulan di tahun 2024. Aku baru saja menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di akhir tahun 2023. Tanpa sadar, aku menjadi buta arah. Tidak tahu sedang berdiri di mana dan tempat apa yang ingin aku tuju. Saat itu, aku hanya tahu kalau aku suka sekali menulis, merangkai bunga, dan bekerja paruh waktu. Ternyata, rasa itu sudah lama aku pupuk, sejak Sekolah Menengah Atas (SMA).

Pikiran yang seringkali kemana-mana. Terlalu ramai dan tidak tahu cara mengutarakan. Akhirnya, semua ditumpahkan dalam bentuk tulisan. Mulai dari tulisan harian, blog, puisi, sampai cerita fiksi. Sudah kucoba semuanya. Banyak orang yang suka, ternyata. Aku pun merasa lega setelah menulis, diikuti rasa bahagia ketika banyak penikmat yang selalu menunggu tulisan baruku. Seru juga. Sayangnya, aku merasa tidak bisa mendapatkan penghasilan dari tumpukan tulisan-tulisan itu. Sebab kebanyakan hanya dicurahkan untuk disimpan, bukan dibagikan. Sebagian besar hanya untuk melepas sesak, setelah kubaca, rasanya tidak tepat kalau harus mengajak pembaca untuk merasakan perasaan itu. Saat itu, aku merasa hal ini tidak bisa dibiarkan. Aku butuh penghasilan walau kecil-kecilan. Minimal cukup untuk membeli sesuatu yang aku butuhkan, lebih-lebih jika aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Seperti ketika aku di Sekolah Menengah Pertama (SMP) –aku mampu menabung dan memberi beberapa keperluanku sendiri dari hasil kejuaraan olahraga bola voli –yang ternyata harus aku relakan semangat itu ketika masuk di SMA yang tidak punya tim voli unggulan.

Aku memutuskan untuk mulai berjualan. Ya… sederhana saja. Sesuatu yang aku yakin akan mendapatkan perhatian dari siswa SMA. Kaos kaki, cireng frozen, mini desserts, dan pulsa. Aku selalu mendapatkan konsumen selama tiga tahun bersekolah. Pemasukannya tidak besar, tapi cukup untuk mengisi tabunganku. Minimal aku tidak lulus sekolah dengan tabungan yang masih kosong. Perlu digarisbawahi, tabungan yang kumaksud adalah satu yang uangnya aku cari sendiri. Uang jajan tidak pernah habis, sisanya selalu tersimpan dengan baik di tabungan yang berbeda dari penghasilanku. Tabungan sisa uang jajan digunakan untuk pengeluaran yang sifatnya jangka pendek, seperti uang jajan darurat. ….emang ada, ya? Uang jajan darurat? Uang jajan darurat ini seperti ketika butuh uang saat bermain bersama teman di luar jam sekolah. Jadi, tidak ada ceritanya minta uang jajan dua kali ke orang tua. Sedangkan, tabungan dari hasil jualan digunakan untuk yang sifatnya jangka panjang. Misalnya, untuk memulai bisnis baru, atau membeli keperluan yang harganya cukup tinggi. Aku melakukan ini karena adanya rasa sungkan untuk meminta. Tapi, kalau dikasih tanpa meminta, aku sangat bersyukur.

Karena kegiatan jual-menjual ini benar-benar membantuku dalam menabung, aku memutuskan untuk lanjut bahkan sampai lulus kuliah. Banyak barang yang aku jual; masker organik untuk kecantikan, masker kain dan handsanitizer di masa COVID-19, dan kaos kaki. Sayangnya, menjual barang yang itu-itu saja ternyata membosankan. Aku ingin sesuatu yang lebih membutuhkan otak dan tenaga. Aku ingin sesuatu yang berkesan. Aku mulai belajar cara membuat buket. Tapi, aku tidak mau menjual sesuatu yang sudah umum. Jadi, aku memutuskan untuk membuat buket dari sesuatu yang sudah lama menjadi ciri khasku, yaitu kaos kaki. Aku memulai sebuah toko online. Masih seperti rahasia karena belum banyak yang tahu. Masih belum besar karena belum banyak modalnya. Hahaha…

Namanya Kioska. Kioska dimulai di bulan Desember 2022. Seharusnya kalian bisa mengunjungi akun Instagramnya (@kioska.id), tapi, saat ini sedang dalam masa hiatus karena aku harus pergi jauh dari rumah dan menempuh pendidikan yang lebih tinggi di negeri orang. Jadi, mau tak mau, akun itu harus non-aktif sementara waktu. Satu tahun berjalan, semakin banyak pesanan yang masuk. Hanya belasan, tapi aku sudah merasa bahagia karena tokoku perlahan bertumbuh. Sejak ada Kioska, aku jatuh cinta dengan per-buket-an. Di masa sibuk penelitian dan menyusun naskah skripsi, aku malah memutuskan untuk mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai seorang perangkai bunga (florist) di salah satu toko bunga segar yang ternyata mirip dengan Kioska –alias belum punya kios tetap dan belum banyak yang tahu. Cari saja akun instagramnya (@Velvetflo.co). Kalau tidak salah, aku bekerja paruh waktu di sana selama hampir satu tahun. Mulai dari sibuk skripsian sampai wisuda. Tidak bisa dibohongi, aku bergitu jatuh cintanya dengan bunga dan semua tentangnya. Bahkan, aku bisa saja bekerja dari siang sampai lewat waktu subuh, kemudian pulang, dan lanjut kegiatan di kampus di pagi harinya. Lelah, kurang tidur, sakit leher, tapi… aku suka! Dari situ, aku mulai menetapkan satu mimpiku, yaitu membuatkan toko untuk Kioska. Tentu saja, tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tapi, setidaknya, mimpinya sudah ada. Hehehe… boleh, kan, punya impian yang tidak tahu kapan bisa diwujudkan?

Cukup tentang per-buket-an. Aku juga menghabiskan masa perkuliahanku dengan bekerja paruh waktu di beberapa bimbingan belajar, sebagai guru. Bukan tempat dan guru yang Istimewa, tapi cukup untuk membantu teman-teman dalam belajar. Dan… cukup untuk mengisi waktu luang dengan sesuatu yang bermanfaat. Aku juga masih mengikuti kegiatan online volunteering, yang kalau dibayangkan lagi, ternyata cukup membuat heran. Ternyata, aku bisa saja berada di banyak tempat dalam satu hari. Bisa menjadi bagian dari banyak hal dalam satu waktu.

Antara baik atau buruk; selalu mencari kesibukan untuk mengisi waktu luang. Yang jelas, kebiasaan itu terbawa bahkan sampai setelah menjadi seorang sarjana. Jujur saja, sebagai seorang sarjana sains di bidang kimia, aku tidak tahu mau jadi apa. Sebab aku sudah terlalu suka dengan kesibukan di luar bidang, yang sifatnya juga ‘menghasilkan’. Aku memutuskan untuk tidak mendaftarkan diri ke perusahaan apapun. Benar-benar menghabiskan dua-tiga bulan untuk merenung. Akhirnya, aku mendapatkan tawaran untuk menjadi seorang asisten peneliti dari mantan dosen pembimbingku. Entahlah… beliau memberikan tawaran ini karena potensi yang aku punya, atau karena kecewa melihatku seperti sebatang pengangguran? Hahaha… aku bahkan tidak bisa berpikir jernih. Beberapa minggu berlalu, aku mendapatkan tawaran untuk melanjutkan pendidikan di Korea. Wow… seberapa tidak tepatnya tawaran ini datang padaku. Bayangkan saja, mendapatkan tawaran untuk berjalan ke atas ketika kakimu sudah bergetar bahkan untuk berdiri di jalan yang landai...

Singkatnya, aku mengambil tawaran itu. Yap… lagi-lagi, aku mempertanyakan keputusan yang kubuat sendiri. Kenapa aku kembali lagi ke lubang yang sama? Tidak ingin bekerja di bidang kimia, katanya. Tapi, kembali ke kampusnya sendiri sebagai asisten peneliti, kemudian berakhir mengejar beasiswa. Apa lagi kalau bukan cinta? Hahahahaha…. Huftttttt….

Satu keputusan itu, membuatku mempertanyakan semuanya, lagi, secara terus-menerus. Apakah ini yang aku inginkan?

Sangking lelahnya dengan keraguan yang terus menghantuiku, aku memutuskan untuk kabur. Tenang saja, bukan tipikal kabur yang meninggalkan tanggungjawab, kok. Aku hanya kabur dengan cara mencari kesibukan. Lagi. Aku memutuskan untuk mengambil pekerjaan paruh waktu di sebuah café. Kalian harus tahu, café ini terkenal dengan menu minuman dan burger yang sangat enak!! Sebagai salah satu karyawannya, aku pun menaruh hati ke semua yang mereka punya. Sayangnya, café itu sedang hiatus saat ini. Tapi, kalian bisa menemukan mereka di events tertentu karena mereka masih sering membuka pop-up kiosk. Couldn’t mention the name, though… so, if you know, you know. Not gonna mention it because I might bring up some stories that could possibly backfire.

Bekerja di sana benar-benar membuatku belajar banyak. Mulai dari macamnya manusia, dari cara bicara sampai cara memperlakukan orang lain. Satu minggu pertama, otak dan hatiku seperti tidak sinkron. Antara menyukai dan tidak nyaman berada di sana. Yang benar saja… introvert, jarang nongkrong di café, lebih sering berada di lingkungan akademis dibandingkan bergaul dengan dunia luar. Wah… gila… aku merasa seperti di dunia yang berbeda. Rekan kerja yang bicara seolah sudah akrab (include kata-kata kasar, tapi bukan ngatain, ya…) dan berbagai varian customer. Bagian kata-kata kasarnya, aku tidak keberatan karena aku benar-benar merasa diterima sebagai seseorang yang dekat. Ya… singkatnya, perlakuan mereka yang seperti itu membuatku merasa seolah kami sudah lama kenal. However, banyaknya varian dari customer –membuatku seringkali mempertanyakan, “mereka ini manusia juga, kah?”.

Masa-masa itu membuatku sadar, kalau selama ini aku hanya dipertemukan dengan orang-orang yang memperlakukanku dengan baik. Terlepas dari niat mereka yang sebenarnya –tulus atau tidaknya. Aku terkejut karena ternyata, orang-orang memperlakukan karyawan café seolah kami begitu rendah. Cara bicara, bahasa, sampai bahasa tubuh pun tidak bisa berbohong. Aku sampai heran, apa yang membuat mereka begitu tinggi? Respect sesama manuasia pun tidak punya. Bicara menggunakan bahasa dan nada yang seolah kami tidak terdidik, memberikan bahasa tubuh yang seolah kami pantas untuk diperlakukan seperti itu. Seolah bekerja di sebuah café adalah sesuatu yang rendah dan memalukan. Aku tidak bisa menceritakan detail perlakuan customer yang tidak ramah kepada karyawan café, tapi aku bisa menyebut salah satu yang aku terima, dari seseorang yang aku tahu. Katanya, “kenapa kamu jadi begini? Kenapa banting setir? Sarjana kimia kok malah kerja di café?”

WOW… I was speechless. I could not respond with anything but a smile. She got me questioned my whole potential, too. Well… little did she know… I was working my a*s off for three jobs. Itu adalah satu dari sekian pertanyaan aneh yang keluar dari mulut customer, tentunya, ditujukan padaku. Mereka tidak tahu, aku bekerja di tiga tempat pada saat itu. Asisten peneliti di pagi-sore, kasir di sore-malam, membuat pesanan dan mengajar di waktu yang lainnya. Padahal, rasanya sudah hampir gila. Tapi, masih belum terlihat seperti ‘sesuatu’ di mata yang memandang. Hidup memang tidak masuk akal. Semua orang akan menilaimu dari hal yang kamu lakukan, tanpa mengetahui apa yang sudah kamu lalui, dan apa yang sedang kamu usahakan. Ya… itu yang aku pelajari dari pengalaman itu.

Terlepas dari pengalaman yang tidak mengenakkan selama menjadi karyawan, aku bersyukur karena bertemu dengan rekan kerja yang ternyata memiliki warna latar belakang yang kurang-lebih sama denganku, terutama dari sisi keluarga. Itu membuat kami lebih terasa seperti keluarga dibandingkan teman. Aku suka kedekatan kami di saat itu. Berani aku bilang, bahwa ikatan itu adalah salah satu yang paling berkesan selama hidupku. Sebelum mereka, aku hanya menjalani kehidupan setelah kampus yang datar, membosankan, dan tidak tahu arah. Bersama mereka, aku tahu cara menjalaninya. Setelah mereka, aku menjadi lebih mengerti tentang manusia dan dunia. Aku tidak peduli jika ada yang memandangku rendah karena pernah bekerja di sana. Aku bangga menjadi bagian dari mereka!!!

Antara senang dan sedih, aku harus berhenti bekerja di café karena aku berhasil mendapatkan beasiswa itu. Sekarang, aku sudah melepaskan semua kesibukan yang pernah aku pegang erat. Aku tinggalkan semua di Indonesia, di rumah. Aku memulai perjalanan yang baru di Korea. Masih tahun pertama dan masih meraba tentang arah jalannya. Ini sesuatu yang baru, besar, dan istimewa. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Ternyata, tidak ada salahnya merangkap banyak hal karena tidak tahu arah. Ternyata, tidak ada salahnya juga untuk lepas sejenak dari sesuatu yang sudah lama dipegang. Ternyata, pada akhirnya, aku tetap dibawa kembali ke tempat yang ‘mungkin’ sudah lama dipersiapkan untukku. Aku sudah tidak takut untuk mencoba hal baru. Apapun itu, aku ambil tantangannya. 

Saat ini, aku sedang menempuh pendidikan jenjang magister, di bidang kimia yang aku cinta sejak tahun ke-dua sebagai sarjana; kimia organik. Tidak mudah untuk sampai di titik ini. Tidak mudah juga meskipun sudah sampai sini. Aku akan terus belajar. Aku akan terus mencari hal yang aku suka. Jika jauh dari rumah, maka akan aku lakukan di sini.

Sepertinya, ini adalah salah satu tulisanku yang paling panjang. Jumlah katanya dua kali lipat lebih banyak dari sebagian besar tulisanku. Semoga ada yang membaca sampai selesai, ya… Terima kasih sudah membaca ceritaku yang isinya ‘kemana-mana’. Semoga sedikit dari cerita ini bisa menghibur, lebih-lebih jika bisa memotivasi. Salam hangat dari aku, dari Korea. Semoga kalian yang sedang merangkap banyak hal dan mengusahakan sesuatu yang besar, bisa cukup kuat untuk sampai di garis akhir. Semoga kita bisa sampai di garis akhir itu bersama-sama.

Aku sayang kalian. Tetap kuat, ya!!

 


Komentar

Postingan Populer